Latest Games :
.

Arti Islam

Senin, 18 November 2013 | 0 komentar

Secara Bahasa Islam berasal dari kata Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti 'Menyelamatkan'. misal teks 'Assalamu Alaikum' yang berarti Semoga Keselamatan menyertai kalian semuanya.

Islam/Islaman adalah Masdar/Kata benda sebagai bahasa penunjuk dari Fi'il/Kata kerja yaitu 'Aslama' =Telah Selamat (Past Tense) dan 'Yuslimu' =Menyelamatkan.

menurunkan beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman, yaitu Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian. Kata Islam lebih spesifik lagi didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna "untuk menerima, menyerah atau tunduk" dan dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan yang Maha Esa.

Islam menurut Hadist Rosulullah.
الإِسْلَامُ هُوَ إِسْتِسْلَامُ لِلهِ بِالتَّوْحِيْدِ وَالْإِنْقِيَادُ لَهُ بِالطَّعَةِ وَالْبَرَاءَةُ مِنَ الشِرْكِ وَأَهْلِهِ
AL-ISLAMU HUWA
ISTIMLAMU LILLAHI BI TAUHIIDI WAL INQIYADU LAHU BI TO'ATI WAL-BARO'ATU MINA SYIRKI WA AHLIHI
“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya.”
[HR. Muslim bi syarah an-Nawawi, (Kairo : al-Ma¯ba’ah al-Mi¡riyah, T.th), hlm.2]

1.  Al istislamu lillahi bit tauhid, = Berserah diri kepada Allah dengan cara hanya beribadah kepada-Nya dan tidak kepada selain-Nya.    

Artinya kita benar-benar melakukan peribadatan dan segala bentuk penghambaan hanya kepada Allah Ta’ala.  
“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

2.  Wal inqiyaadu lahu bit too’ah = Tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan pada segala perintah-Nya.

Artinya, seorang muslim menundukkan segala bentuk ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mungkin kita tidak sadar, bahwa selama ini kita belum taat kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah  sebagaimana yang diperintahkan oleh syari’at. Bahkan kita terjatuh pada perilaku orang-orang jahiliyyah yang lebih  mengedepankan ketaatan kepada tetua yang jika ditelusuri ternyata tidak mengajarkan hal-hal yang sesuai dengan syari’at-Nya.  
“Apabila dikatakan kepada mereka: Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS. Al- Maaidah: 104)

3.  Wal barooatu minasyirki wa ahlihi = Berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Artinya, Jika seseorang berserah diri hanya kepada Allah Ta’ala dan tidak kepada yang lain, maka ia akan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya. Karena sungguh sia-sialah seluruh amalan seorang muslim jika ia melakukan kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman,“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al- An’am: 88)


Continue Reading

Ihsan kepada hewan dan lainnya

| 0 komentar

Selain ihsan kepada Allah dan sesama manusia, kita juga diperintahkan untuk berbuat ihsan kepada yang lain, seperti ihsan kepada hewan dan alam di sekitarnya. Ihsan di sini adalah berbuat sesuatu dengan cara yang baik, santun dan penuh kasih sayang. Nabi Saw bersabda:

اِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ اْلِاحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَاِذَا قَتَلْتُمْ فَاَحْسِنُوْ الْقَتْلَةَ وَ اِذَا ذَبَحْتُمْ فَاَحْسِنُوْ الذَّبْحَةَ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kalian untuk berbuat baik (ihsan) pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut kita diwajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika ihsan kepada Allah dilakukan dengan melakukan ibadah yang khusyu, merasakan adanya kedekatan dengan Allah, sehingga seakan-akan sedang beraudensi dengan Allah, dan ihsan kepada manusia dengan berbuat kasih sayang kepada sesama tanpa pamrih, tulus dan ikhlas meski pernah diperlakukan tidak baik, maka ihsan kepada yang lain termasuk kepada hewan adalah dengan cara yang santun dan kasih sayang. Misalnya saat mau menyembelih hewan, maka cara bersikap ihsan kepadanya adalah dengan mempersiapkan pisau yang tajam sehingga tidak terlalu menyakitkan saat menyembelihnya.
Continue Reading

10 Faidah Tentang Mimpi

| 0 komentar

Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat.
 
Mimpi merupakan teman dekat orang yang sedang tidur. Kadang kala mimpi nya menggembirakan dan ada kalanya menyedihkan. Sebagian orang bahkan menggantungkan nasibnya dengan mimpi. 

Disisi lain, banyak terdapat penyebar mimpi untuk mencari perhatian. Bagaimana sebenarnya mimpi menurut Islam…?


1. MAKNA MIMPI
Ibnu al-Atsir rahimahullah berkata : 


“Al-Ru’yah dan Al-Hulmu adalah mimpi yakni sesuatu yang dilihat pada saat orang sedang tidur. Sedangkan istilah penyebutan Al-Ru’yah apabila bermimpi baik, dan Al-Hulmu apabila bermimpi jelek. Adapun Adghosu Ahlam yakni mimpi kacau lagi sulit dimengerti.” [An-Nihayah fi Gharibil Atsar 1/1036]


2. MACAM – MACAM MIMPI
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
الرّؤيا ثلاث فرؤيا حقّ ورؤيا يحدّث بها الرّجل نفسه ورؤيا تحزين من الشّيطان
“Mimpi itu ada tiga macam, 1) Mimpi yang benar, 2) Mimpi yang ditimbulkan karena bisikan seseorang mengenai dirinya, 3) dan mimpi buruk yang datang dari syaitan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Tirmidzi. Ash-Shahihah (119, 120, 1341) dan ar-Raudh an-Nadhr (1162)]

Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
الرّؤيا ثلاث فيشرى من الله وحديث النّقس وتخويف من الشّيطان
“Mimpi itu ada tiga macam, 1) Kabar gembira dari Allah, 2) Sekedar Bisikan Jiwa, 3) dan Teror dari syaitan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya 12/29. dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah no 1341]


3. MACAM – MACAM ORANG BERMIMPI
Syaikh Abdullah bin Muhammad ath-Thayar hafizhullah berkata :


“Manusia ditinjau dari sisi mimpinya ada lima golongan. 

1) Para Utusan Allah Subhanahu wa ta’ala. 
2) Orang yang Shalih. 
3) Masturun. 
4) Orang yang Fasik dan 
5) Orang kafir.” 
[Dhawabith Ta’bir Ru’yah 1/12. Dengan ringkas]

Al-Muhallab rahimahullah menjelaskan :

  1. Mimpi para Nabi, pasti benar dan terkadang mimpinya membutuhkan ta’bir.
  2. Mimpi orang yang shalih, pada umumnya mimpi mereka juga benar, terkadang terjadi tidak membutuhkan ta’bir (tafsir).
  3. Mimpi Masturun (yaitu orang yang tertutup ibadahnya, kurang serius ibadahnya dan terkadang berbuat dosa tetapi bukan syirik), pada umumnya sama hak mereka, terkadang bisa benar dan bisa kacau.
  4. Mimpi orang yang Fasik dan Ahli Maksiat, pada umumnya mimpi mereka kacau lagi sulit ditakwil dan sedikit sekali yang benar.
  5. Mimpi orang Kafir, sedikit sekali yang benar. Karena mereka mendustakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. 
[Fathul Baari 19/451 dengan sedikit penyutingan]


4. DARI MANA DATANGNYA MIMPI BAIK DAN BURUK..?
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu’anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
الرّؤيا الصّادقة من الله والحلم من الشيطان
“Mimpi yang benar (al-Ru’yah) datang dari Allah dan mimpi yang jelek (al-Hulmu) berasal dari Syaitan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya no 6469]


5. ADAB BILA BERMIMPI BAIK
Mendapatkan mimpi baik adalah kabar gembira (busyra) dan rahmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada para Utusan-Nya dan hamba-Nya yang shalih dan shalihah, yang kuat iman nya dan takwanya.


Berikut adab bila mendapatkan mimpi yang baik :

1. Hendaknya kita memuji dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena hanya Dia yang memberi nikmat dan rahmat.


Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
إذا رأى أحدكم رؤيا يحبّها فإنّما هي من الله فليحمد الله عليها وليحدّث بها
“Jika salah seorang diantara kalian bermimpi yang dia sukai, sebenarnya mimpi tersebut dari Allah, maka hendaklah ia memuji Allah karena nya dan ceritakanlah.” [Shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih nya no 6470]

2. Boleh menceritakan kepada orang yang menyenangi dirinya dan Dilarang menceritakan kepada orang yang tidak menyukai dirinya.
 

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam bersabda :
الرّؤيا الحسنة من الله فإذا رأى أحدكم مايحبّ فلا يحدّث به إلاّ من يحبّ
“Mimpi yang baik adalah berasal dari Allah, karena itu jika salah seorang diantara kalian bermimpi yang disukainya maka janganlah menceritakan nya selain kepada orang yang dia sukai.” [Shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya 6/2582]

Hikmahnya larangan menceritakan mimpi yang baik kepada orang yang tidak menyukai dirinya adalah jika dia menceritakan mimpi yang baik kepada orang yang tidak menyukai dirinya maka dikhawatirkan orang yang tidak menyukai dirinya menafsirkan mimpi tersebut kepada hal – hal yang tidak disenangi karena dia marah atau dengki, sehingga berbalik dari kabar gembira menjadi kesedihan dan kesusahan. [Tuhfatul Ahwadzi 8/350]

3. Hendaknya berdoa, jika dia hendak mencerita mimpinya kepada orang yang menyukai dirinya.
 

Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu berkata : “Hendaklah kamu menceritakan mimpimu yang baik, bila hendak bercerita, hendaklah berdoa : “Ya Allah, jika hal ini baik, maka untuk kami. Jika hal ini jelek, maka untuk musuh kami.” [Syu’abul Iman 5/310]


6. ADAB BILA BERMIMPI BURUK
Mimpi buruk adalah berasal dari Syaitan. Berikut adab jika mendapatkan mimpi yang buruk :
1. Meludah samping kiri tiga kali dan berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

2. Mengubah posisi tidur.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
إذ رأى أحدكم الرّؤيا يكرهها فليبصق عن يسارة ثلاثا وليستعذ بالله من الشّيطان ثلاثا وليتحوّل عن جنبه الّذي كان عليه
“Apabila ada seseorang yang bermimpi yang tidak disukainya (mimpi buruk), hendaklah dia meludah tiga kali ke kiri dan berlindung kepada Allah tiga kali, kemudian mengubah posisi tidurnya.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya 7/57 no 1524]

3. Berdiri dan melakukan shalat sunnah.

4. Tidak menceritakan nya kepada orang lain.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wa salam bersabda :
فمن رأى شيئا يكرهه فلا يقصّه على أحد وليقم فليصلّ
“Barangsiapa yang bermimpi suatu hal yang tidak disukainya (mimpi buruk), janganlah menceritakan nya kepada seorangpun, (dan) hendaklah dia bangun dan mendirikan shalat.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya 6/2547]


7. TIPS AGAR TIDAK BERMIMPI BURUK
Mimpi adalah takdir Allah Subhanahu wa ta’ala yang harus kita maklumi. Kita tidak tahu apa yang akan kita mimpikan. Akan tetapi, yang juga harus dimaklumi bahwa mimpi yang buruk lagi menggelisahkan bersumber dari syaitan. Berikut diantara hal – hal yang dapat menjauhkan seseorang dari mimpi yang buruk.

1. Berusaha menjadi orang yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena syaitan tidak mampu menggoda orang yang ikhlas dalam beraal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. [Lihat surat as-Shad ayat 82-83]

2. Sebelum tidur membaca Ayat Kursi yakni Surat al-Baqarah ayat 255 [Lihat, Shahih Bukhari no 4624]

3. Membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas kedua telapak tangan dan mengusapkan keduanya ketubuh yang dapat dijangkau mulai dari kepala, wajah dan tubuh bagian depan sebanyak tiga kali. [Lihat, Shahih Muslim 7/55 no 1528]

4. Hendaknya tidur tidak terlalu lama.

5. Jika merasa ketakutan ketika akan tidur, maka hendaknya membaca doa berikut ini.


Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian takut ketika akan tidur, maka hendaklah ia berdoa :
أعوذ بكلماب الله التّامّات من غضبه وعقابه وشرّ عباده ومن همزات الشياطين . وأن يحضرون
“Aku berlindung dengan kalimat – kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan dan siksaan-Nya, (juga) dari kejahatan hamba – hamba-Nya serta dari bisikan – bisikan syaitan dan mereka akan mendatangi (ku).”
Sesungguhnya hal itu (ketakutan) tidak akan membahayakan nya.” [Hasan : Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Dihasankan oleh Al-Albani didalam Silsilah Shahihah 1/470]

6. Berwudhu sebelum tidur, berbaring pada sisi kanan tubuh dan membaca doa.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badan mu dan ucapkanlah :
اللّهمّ أسلمت نفسي إليك , وفوّضت أمري إليك , ووجّهت وجهي إليك , وألجأت ظهري إليك , رغبة ورهبة إليك , لا ملجأ ولا منجا منك إلاّ إليك , آمنت بكتابك الّذي أنزلت . وبنبيّك الّذي أرسلت
“Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada Mu, aku menyerahkan urusanku kepada Mu, aku menghadapkan wajahku kepada Mu, aku menyandarkan punggungku kepada Mu, karena senang (mendapatkan rahmat Mu) dan takut pada (siksaan Mu, bila melakukan kesalahan). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dari (ancaman Mu), kecuali kepada Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan kepada Nabi Mu yang Engkau Utus.” Jika kamu meninggal pada malam itu, maka kamu dalam keadaan fitrah dan jadilah doa itu sebagai akhir kalimat yang kamu ucapkan.” [Shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih nya 5/2327]


8. MIMPI MELIHAT RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI SALLAM
Mimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam memang benar bila dia orang yang baik aqidahnya dan amal ibadahnya dan dia tidak termasuk pembohong atau orang yang rusak aqidahnya dan akhlaknya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, dia berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثّل الشيطان بي
“Barangsiapa yang melihatku dalam tidur (mimpinya), maka (seakan-akan) ia melihatku ketika terjaga, (karena) syaitan tidak bisa menyerupaiku.” [Shahih : Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya no 6478]

Akan tetapi, jika orang yang mengaku bermimpi bertemu dengan Nabi berkata : “Saya bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, beliau memerintahkan mengamalkan ini dan itu.” Maka sudah tentu dia berdusta, karena Islam sudah sempurna. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الإسلم دينا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [al-Quran Surat 5 al-Maa’idah ayat 3]


9. KITAB TAFSIR MIMPI

Sudah diterjemahkan sebuah kitab yang judul aslinya adalah Tafsir Ahlam yang dinisbatkan kepada Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah, dengan judul terjemahan nya Tafsir Mimpi Menurut al-Quran dan as-Sunnah cetakan Pustaka Gema Insani Press.

Penisbatkan dan penyandaran kitab Tafsir Ahlam (Tafsir Mimpi) ini kepada Imam Muhammad Ibnu Sirin adalah sesuatu yang tidak benar. Orang yang pertama kali menisbatkan kitab Ta’bir Ru’yah atau Tafsir Ahlam ini kepada Ibnu Sirin adalah Ibnu Nadim dalam kitabnya al-Fihrisat yang kemudian di ikuti oleh orang – orang yang datang sesudahnya.

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhullah berkata : “Telah dicetak kitab Tafsirul Ahlam al-Kabir (Tafsir Mimpi) yang dinisbatkan kepada Ibnu Sirin dan ini adalah suatu kesalahan. Yang benar adalah ia ditulis oleh Abu Sa’ad al-Wa’izh. Dahulu saya telah menafikan (mengingkari) keshahihan penisbahan nya kepada Ibnu Sirin didalam kitab ku Kutub Hadzdzara Minhal Ulama 2/275 dan sesudahnya dan saya bawakan dalil – dalil atas hal itu dan saya dapati sesudahnya atas nama penulisa nya dan dia –yakni Abu Sa’ad al-Wa’izh termasuk yang meriwayatkan dari Ibnu Juma’I ash-Shaidawi dan thabaqahnya.” [Tahqiq kitab al-Muwafaqat 2/455]



10. BOLEHKAH KITAB TAFSIR MIMPI (TAFSIRUL AHLAM) DAN SEMISALNYA MENJADI RUJUKAN DALAM MENAFSIRKAN MIMPI..?
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin rahimahullah menjawab : 

“Sesungguhnya saya menasehati kepada saudara – saudara ku kaum muslimin tentang kitab – kitab tafsir mimpi ini agar tidak memilikinya dan tidak menelaahnya karena kitab – kitab itu bukanlah wahyu yang turun dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Ia hanyalah pendapat yang kadang bisa benar dan terkadang bisa salah. Kemudian, mimpi kadang – kadang sama didalam gambaran nya dan berbeda didalam hakikatnya, sesuai dengan orang dan tempat.” [Diringkas dari Fatawa Nur ‘ala Darb hal 8-9 dan Majmu’ Fatawa Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin 26/360-361]

Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Continue Reading

Ihsan kepada manusia

| 0 komentar

Ihsan kepada manusia adalah berbuat baik kepada orang lain dengan niat yang tulus, tanpa pamrih dan penuh kasih sayang. Sikap ihsan ini pernah dicontohkan oleh Nabi Saw di masa hidupnya hingga menjelang wafatnya.

Al-kisah, di sudut pasar Madinah Al-Munawwarah ada seorang pengemis buta beragama Yahudi yang setiap harinya berharap belas kasih dari orang yang datang menghampirinya. Setiap ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.

Anehnya, setiap pagi Rasulullah Saw mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun beliau menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.

Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Saw hingga menjelang wafatnya. Setelah Rasulullah Saw wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap paginya kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah ra. Beliau bertanya kepada anaknya. “Anakku, adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”! Aisyah ra menjawab pertanyaan ayahnya. “Wahai ayahanda ! Engkau adalah seorang ahli sunnah yang hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah Itu?”, tanya Abubakar ra. “Wahai ayahanda, setiap pagi Rasulullah Saw selalu pergi ke ujung pasar Madinah dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana”, kata Aisyah ra.

Keesokan harinya Abubakar ra. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil berteriak, “Siapakah kamu ?”. Abubakar r.a menjawab, “aku orang yang biasa”. “Bukan ! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku, makanan yang dibawanya tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri”, pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar ra. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu kini telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah Saw.

Setelah pengemis buta itu mendengar cerita Abubakar ra. bahwa selama ini yang menyuapinya setiap pagi adalah Nabi Muhammad saw, ia pun menangis dan kemudian berkata: benarkah demikian? Pengemis buta itu pun penasaran dan merasa sangat bersalah. Dengan menangis tersedu-sedu dan penuh penyesalan, ia berucap: “Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, tetapi ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…dan sangat penyayang”.

Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar ra. Ia kemudian masuk Islam. (Syekh Muhammad Yusuf al-Kandahlawi, Hayatus Shahabah)
Dalam kisah tersebut dapat diambil pelajaran bahwa sejatinya sikap ihsan kepada sesama manusia adalah bersikap lembut dan kasih sayang kepada orang lain, meski orang lain tersebut pernah memperlakukan dirinya dengan tidak baik. Mengenai sikap ihsan kepada manusia ini, Nabi Saw pernah bersabda:

قال النبي صلى الله عليه وسلم : « إِنَّمَا اْلإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ ، لَيْسَ اْلإِحْسَانُ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ » (تفسير ابن أبي حاتم)

Nabi Saw bersabda: “sesungguhnya ihsan itu adalah engkau berbuat baik kepada orang yang telah berbuat buruk kepadamu. Dan tidaklah disebut ihsan jika engkau berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu (Tafsir Ibn Abi Hatim, Vol.54 hal.119)

Allah suka kepada manusia yang bisa bersikap ihsan kepada sesama manusia, lebih-lebih jika sikap ihsan itu dilakukan terhadap kedua orang tuanya. Secara khusus Allah memerintahkannya dengan firmanNya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS. Al Isra, 23)

Betapa mulianya berbuat ihsan kepada kedua orang tua hingga Nabi Saw bersabda:

رِضَى اللَّهِ فِي رِضَى الْوَالِدَيْنِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ

Ridha Allah tergantung kepada ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung kepada murka kedua orang tua (HR. Al-Tirmidzi. Ibn Hibban dan al-Hakim mensahihkannya).

Di sini Allah dan RasulNya menegaskan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan kepada sesama manusia, terutama kepada kedua orang tuanya.
Continue Reading

Ihsan kepada Allah

Minggu, 17 November 2013 | 0 komentar

Ihsan kepada Allah adalah berbuat baik bahkan yang terbaik dalam mengabdi kepada Allah. Dalam hal ini, ketika beribadah kepada Allah terutama ketika shalat, ia benar-benar merasakan seakan-akan berhadapan dan melihat Allah. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim diterangkan:

مَا الإِحْسَانُ قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Nabi Saw ditanya tentang Ihsan, beliau menjawab:” Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak bisa melihatnya, sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa sikap ihsan kepada Allah adalah sikap yang khusyu dalam beribadah, dan merasakan Allah begitu dekat dengannya, sehingga ia merasakan selalu dalam pengawasan Allah Ta'ala.

Tingkatan Ihsan

Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :

  • Pertama, tingkatan muroqobah.

Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu).

Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,

وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ …
{61}

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)

  • Kedua, tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi  أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).

Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. 
[Kitab Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, Syaikh Sholeh Alu Syaikh.]

Keutamaan Ihsan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
{128}

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An Nahl: 128).

Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang bertakwa kepada Allah, yang tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan petunjuk jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum (yakni pengilmuan Allah). Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ   ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
[kitab Husuulul Ma’muul 41.]

Dalam ayat lain Allah berfirman,

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
{195}

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al Baqarah:195)

Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa ihsan pada ayat ini mecakup seluruh jenis ihsan. Hal ini karena tidak ada pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta, kemuliaan, pertolongan, perbuatan memrintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihasan lain yng diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah.

Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya :
  لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.
[kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan tafsir surat al Baqarah 195, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.].

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}

“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)

Continue Reading

Pengertian Makna Ihsan

| 0 komentar

Ihsan secara bahasa Arab: احسان adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "kesempurnaan" atau "terbaik".

Ihsan adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya

Ihsan berasal dari kata (حَسُنَ) yang artinya berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah (اِحْسَانْ), yang artinya kebaikan. Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam (166) ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ihsan ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an.

Beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keutamaan ihsan dan perintah melaksanakannya, di antaranya, adalah sebagai berikut:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-Baqarah:195)

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al-Ankabut, 69)

Dilihat dari macam-macamnya, setidak-tidaknya ada tiga macam ihsan, yaitu :
  1. ihsan kepada Allah
  2. ihsan kepada manusia dan 
  3. ihsan kepada segala sesuatu.

Continue Reading

ARTI IMAN dan menurut Para Ulama

| 0 komentar

Secara Bahasa Iman di ambil dari kata bahasa Arab:الإيمان  berarti 'percaya'. dan Perkataan iman (إيمان) diambil dari kata kerja 'aamana' (أمن) -- yukminu' (يؤمن) yang berarti 'percaya' atau 'membenarkan'.

FIRMAN ALLAH :
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Rasul telah beriman kepada Al quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan):` Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya `, dan mereka mengatakan:` Kami dengar dan kami taat `. (Mereka berdoa):` Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali `.(QS. Al Baqarah:285)

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :  

“Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].

Al-Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية
Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat” [ kitab At-Tamhiid, 9/238].
 
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان جميعا
 وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح غير أن له أصلا وفرعا
“Dan jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya. Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’)” [kitab Al-Iimaan, 1/331].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ، والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه يراه
“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan (al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak (al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [KITAB Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/358].

 Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :
وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم
“Mereka adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman (ashlul-iimaan) bersamanya” [KITAB At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 92].

Ashlul-iimaan dinamakan juga muthlaqul-iimaan.
Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah berkata :
فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ، ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله
“Adapun al-iimaanul-muthlaq (iman mutlak), masuk padanya seluruh perkara agama, baik yang dhaahir maupun baathin, yang ushul (pokok) maupun yang furuu’ (cabang). Dan masuk pula padanya keyakinan-keyakinan yang wajib diyakini dari setiap yang terkandung dari kitab ini. Dan masuk pula amal-amal hati, seperti kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 90].
Iman ini merupakan tingkatan iman paling rendah
Dalam kitab Ad-Durarus-Saniyyah (1/332-333) disebutkan :
هو وصف المسلم الذي معه أصل الإيمان والذي لا يتم إسلامه إلا به، بل لا يصح إلا به، فهذا أدنى مراتب الدين
“(Muthlaqul-iimaan) adalah pensifatan seorang muslim yang bersamanya ada pokok iman (ashlul-iimaan), dimana tidak sempurna keislamannya kecuali dengannya, bahkan tidak shahih/benar kecuali dengannya. Ini adalah tingkatan agama yang paling rendah”

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فَأَصْلُ الإِيمَانِ فِي القَلْبِ - وَهُوَ قَوْلُ القَلْبِ وَعَمَلُهُ ، وَهُوَ إِقْرارٌ بِالتَّصْدِيقِ وَالحُبِّ وَالانْقِيَادِ -؛ وَمَا كَانَ فِي القَلْبِ فَلاَ بُدَّ أَنْ يَظْهَرَ مُوجَبُهُ وَمُقْتَضَاهُ عَلَى الجَوَارِحِ ، وَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِمُوجَبِهِ وَمُقْتَضَاهُ دَلَّ عَلَى عَدَمِهِ أَوْ ضَعْفِهِ
“Ashlul-iimaan itu ada di hati - yaitu perkataan dan amalan hati, dan ia adalah iqraar dengan pembenaran (tashdiiq), kecintaan, dan ketundukan. Dan iman yang ada di dalam hati sudah semestinya menampakkan konsekuensinya dan kebutuhannya pada anggota badan (jawaarih). Apabila ia tidak mengamalkan konsekuensi dan kebutuhannya pada amal anggota badan (jawaarih), itu menunjukkan ketiadaan dan kelemahannya" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/644].
Al-Imaam Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
فأصل الإيمان الإقرار والتصديق
“Maka ashlul-iimaan adalah iqraar dan tashdiiq” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/519].
Al-Kalaabadziy rahimahullah (w. 380 H) berkata :
أصل الإيمان : إقرار اللسان بتصديق القلب، وفروعه : العمل بالفرائض
“Ashlul-iimaan adalah pengakuan lisaan terhadap pembenaran hati, dan cabang (furuu’) iman adalah mengerjakan hal-hal yang diwajibkan...” [At-Ta’arruf bi-Manhajit-Tashawwuf, hal. 80].
Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :
فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Dan pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].
Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.
“Dan telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga” [KITAB Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].
Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan sebagaimana perkataan para ulama di atas.
 
Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :
كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد ‏
“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...”[KITAB Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].

Sebagian muhaqqiq menisbatkan perkataan ini kepada muridnya, yaitu Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Haadiy rahimahullah. Wallaahu a’lam.


 
Continue Reading
 
Support : Al Mamuniyah | Rohis | Admin
Copyright © 2011. ROHIS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger